WELCOME to pusatceritadewasaku.blogspot.com

Blog ini merupakan kumpulan Cerita Dewasa dimana dunia maya menyebutnya cerita dewasa, cerita seru, cerita lucah, cerita sex atau cerita porno. Blog ini akan terus kami update. Masukan dari pembaca kami ucapkan terima kasih

Tuesday, June 14, 2011

Eksanti, (Probably) The Last Session - 2

Lanjutan dari bagian 1

Kemudian mobil mulai aku jalankan dan tangan Eksanti diletakkannya di atas paha kiriku sambil kadang-kadang memijit pahaku.
"Mau makan di mana, Santi?", aku bertanya untuk meminta usulannya.
"Terserah Mas, deh" jawabnya pendek.
"Kalau makan steak, Santi suka nggak?" tanyaku lagi.
"Mau Mas, malah sebenarnya Santi sudah agak lama nggak pernah makan steak ", katanya.
"Ke Tonny Roma's, setuju..?", aku bertanya lagi untuk menegaskan keinginannya.
"Okay, Mas..", Ia mengangguk, sambil tersenyum

Akhirnya kami menuju ke sebuah restoran di sekitar bundaran Ratu Plaza. Saat turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran itu, entah mengapa, kali ini malah Eksanti yang tanpa canggung selalu merangkul pinggangku. Eksanti duduk di sebelah kananku. Memang aku sudah mengatur posisi duduk kami sedemikan rupa, supaya tangan kananku bisa selalu berdekatan dengan paha kirinya yang terbuka sampai ke atas. Aku berencana untuk memulai 'kenakalanku', dari sejak saat makan malam ini.

Malam itu sikap Eksanti sungguh sangat berbeda dengan sikapnya sewaktu kami menonton film beberapa hari yang lalu. Kali ini Eksanti tampak begitu ceria dan manja. Saat makan, sengaja dalam posisi duduknya Eksanti merapatkan tubuhnya ke tubuhku serta tangannya selalu memegang pahaku. Sebelum memulai aksiku di atas kulit mulus pahanya, tanganku aku pergunakan untuk mengusap-usap kulit lembut punggungnya yang terbuka. Untung saat itu rumah makan masih sepi pengunjung, sehingga tanganku agak bebas 'berkarya'.

Setelah puas meraba-raba punggungnya, sambil seolah-olah merangkul pinggangnya, dengan lincah aku susupkan tanganku ke dalam roknya. Tanganku merayap ke daerah pinggang, meremas-remas lembut di sana sebentar. Kemudian sedikit turun merayap ke depan, kini tanganku bisa merasakan karet atas celana dalam yang menjepit di atas perutnya. Kemudian tanganku aku tarik untuk bergerak ke atas, menyusup ke bawah ketiaknya dan akhirnya menuju ke samping depan. Aku rasakan ujung jari-jemariku dapat menyentuh bagian samping payudaranya yang benar-benar masih kenyal. Pekerjaan tanganku berhenti saat waitress membawa makanan ke arah meja kami.

Pada saat makan, tanganku mulai lagi meraba pahanya kiri yang terbuka itu. Eksanti betul-betul penuh pengertian. Saat-saat tangan kananku sibuk meremas gemas pahanya, ia membantuku memotong-motong kecil daging di atas piringku dan menyuapkannya ke dalam mulutku. Tanganku benar-benar ia beri keleluasaan untuk bermain di sepanjang paha mulusnya, bahkan sampai ke bibir kewanitaannya pun sempat aku remas gemas dengan penuh kemesraan. Supaya tidak tampak terlalu mencurigakan, kadang-kadang tangan kananku aku pakai pula untuk menyendok makananku lagi, tetapi memang lebih sering aku gunakan untuk berkarya di sekujur paha dan pangkal kewanitaannya.

Eksanti masih terus menyuapiku dengan makanan, hingga suatu saat Eksanti mendesah dan tangannya memegang tanganku erat-erat seraya berkata, "Ssshh.. Mass.., jari tangan Mas benar-benar hebat, bisa membuat Eksanti basah".
Aku tidak percaya, maka aku meraba kembali kewanitaannya. Ternyata benar, celana dalam Eksanti terasa sangat lembab, apalagi di sekitar lubang kewanitaannya. Tiba-tiba aku mendapat ide gila yang mungkin agak jorok. Ujung jari telunjukku aku masukkan ke lubang surgawinya agar bisa mengait lendir yang menempel di bibir kewanitaannya. Ternyata usahaku berhasil. Aku melihat ada lendir kental mirip santan menempel di ujung telunjukku. Aku segara menjilat lendir itu dan aku telan bersama makanan yang disuapkan oleh Eksanti. Aku betul-betul merasa "hot" makan daging steak dicampur lendir kenikmatan Eksanti. Aku mendekatkan mulutku ke telinga Eksanti sambil berbisik, "Santi, Mas sayang kamu..".
Eksanti tampak tertegun sejenak melihat ulah nekatku. Namun ia tersenyum manis dan menjawab lembut sambil mencium pipiku, "Mas, sabar yaa.. Sebentar lagi, malam ini Santi akan menjadi milik Mas sepenuhnya. Santi akan memberikan segalanya yang terbaik untuk Mas nanti. Percayalah".

********

Selesai acara makan malam, karena aku merasa sudah mendapat lampu hijau dari Eksanti, maka tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu, aku langsung mengarahkan stir mobilku menuju motel favorit kami di daerah Selatan Jakarta. Motel itu berjarak tidak terlampau jauh dari tempat kami makan sebelumnya. Begitu sampai di gerbang kompleks motel itu, aku segera membelokkan mobilku dan langsung memasuki sebuah garasi yang memang sudah disiapkan oleh petugas di sana untuk mobilku. Sepertinya mereka sudah cukup hapal dengan plat mobilku, sehingga merekapun tahu letak kamar favorit kami berdua. Begitu pintu garasi tertutup, aku melirik Eksanti untuk melihat ekspresi wajahnya, ia sedikit tersenyum. Dengan tidak sabar, kami langsung keluar dari mobil menuju kamar. Eksanti dengan manjanya berjalan merangkul pinggangku, badannya digayutkan ke tubuhku sepenuhnya. Aku segera membereskan administrasi motel, memberi sedikit tips kepada petugas yang telah selesai menyiapkan air minum, sabun dan handuk untuk kami dan langsung mengunci pintu.

Ketika kami tinggal berdua di dalam kamar motel, Eksanti tiba-tiba bertanya, "Mas, 'pengin banget' ya..?"
"Kepingin apa..?", aku balik bertanya dengan nada bercanda.
"Nggak tahu ach..!", Eksanti tersipu malu.
Aku mencubit hidungnya, kami bercanda dengan penuh kemesraan. Walaupun gelora birahiku sebenarnya sudah sangat ingin aku ledakkan, tetapi aku masih bertahan untuk tidak segera mengumbar nafsuku. Kali ini aku ingin lebih berlama-lama bercanda, bercerita, bermesraan, menikmati saat-saat terakhirku dengan Eksanti. Aku benar-benar tidak ingin terlalu terburu-buru.

Tidak terasa 1 jam sudah kami berada di kamar motel hanya mengobrol, benar-benar hanya mengobrol, tanpa melakukan aktifitas fisik apa-apa. Entah mengapa, dari obrolan-obrolan yang kami lakukan, aku merasakan bahwa Eksanti yang saat ini berada di depan mataku adalah milik Yoga, milik orang lain. Aku ingin, kalaupun malam ini akan terjadi percintaan di antara kami berdua, aku ingin penegasan itu muncul dari mulut Eksanti, bahwa iapun sungguh-sungguh menginginkannya. Aku tidak mau dikasihani. Dan aku juga tidak mau memaksa, walaupun sebenarnya aku sangat ingin melakukannya.

Sampai akhirnya.. tiba-tiba, "Mas, tidak ingin bermesraan dengan Santi malam ini..?" katanya sambil memelukku.
Aku melihat, kali ini mimik wajahnya serius.
"Aku ingin sekali, Santi, sungguh aku ingin sekali. Tetapi aku takut, kalai kamu masih bimbang untuk menerima keberadaanku bersamamu malam ini."
"Lakukanlah Mas, Santi rela, dan benar-benar mengharapkan belaian Mas."

Aku terharu mendengarnya, dan tanpa membuang waktu lagi, aku memeluk erat tubuhnya. Dua buah gunung kembarnya terasa mengganjal di dadaku, menghantarkan aliran gairah yang bergejolak. Kejantananku langsung mengeras dan membesar. Eksanti merangkul leherku erat-erat hingga permainan ciuman mulut, bibir dan lidah kami berlangsung dengan hangat dan penuh kemesraan. Saat aku menciumnya, aku mengecup dalam-dalam bibirnya dengan penuh perasaan, sehingga Eksanti bukan hanya merasakan kenikmatan saja tetapi juga merasakan kasih sayangku. Dengan penuh perasaan, aku menciumi seluruh wajahnya yang cantik. Eksanti membalasnya dengan penuh gairah. Bibir kami saling melumat dan menghisap. Tanganku mulai beraksi meremas buah dadanya, mengusapnya lembut. Eksanti pun balas meremas batang kejantananku.

Beberapa saat setelah berciuman dengan mesranya, tanganku mulai meraba lembut kulit punggungnya yang terbuka. Aku merasakan tubuh Eksanti yang hangat di belakang sana. Lalu tanganku beralih memegang tali gaun di kedua bagian pundaknya dan aku menariknya ke samping. Eksanti pun membantu dengan meluruskan tangannya ke atas sehingga gaun bagian atasnya langsung terlepas. Payudaranya yang masih kenyal dan hangat terlihat dengan jelas di depan mataku. Putingnya kelihatan mulai membesar dan menegang dengan warna merah padma membuat aku semakin terpesona. Sambil terus berciuman, satu persatu pakaian Eksanti terlepas dan terhempas ke lantai.

Kini Eksanti hanya menyisakan celana dalam yang membalut tubuhnya saja. Tubuh Eksanti aku angkat dan aku baringkan di atas ranjang dengan masih memakai celana dalam saja. Tapi hal itu tak berlangsung lama, aku segera melepaskan penutup terakhir tubuh Santi itu. Tampak kewanitaannya yang seperti bukit kecil itu tertutup oleh rambut yang cukup lebat. Aku kemudian melepas T-shirt dan celana panjangku, sambil memandangi tubuh indah Eksanti yang terbaring di atas ranjang dengan pose yang sangat menggiurkan. Eksanti pun tidak mau kalah melepas penutup terakhir tubuhku.

"Occh.., gemes sekali deh Mas, kalau Santi ngelihat yang ini..!", matanya berbinar-binar tajam menatap tajam ke arah kejantananku.
"Memangnya punya Mas Yogamu..?", aku belum sampai pada ujung kalimat pertanyaanku, dan langsung dipotong oleh Eksanti, "..paling separohnya..!, Achh, Mas jangan ngomongin dia lagi sekarang ach..!!"
Meskipun kekesalan Eksanti itu diucapkannya dengan nafas yang memburu dan wajah yang sedikit memerah menahan gairah, namun aku bisa merasakan bahwa kejantanan Yoga mungkin relatif lebih kecil dibandingkan milikku. Tetapi dalam kondisi seperti saat ini, untuk apa aku harus membanding-bandingkannya, masa bodoh saja.

Dalam keadaan tanpa sehelai benangpun, kami terus saling memberikan rangsangan ke titik-titik gairah yang semakin membakar birahi kami. Aku merebahkan tubuh ramping Eksanti ke atas ranjang, aku memandangi tubuhnya yang indah. Payudaranya yang mencuat menantang, kulit putih mulusnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, rambut kewanitaannya nampak hitam berjejer rapi layaknya barisan semut sampai ke pusarnya, membuat nafsuku semakin memuncak.

Aku mendekati kepala Eksanti, kemudian mulai mencium wajah cantiknya. Sementara tanganku menjelajahi seluruh lembah dan bukit puncak payudaranya. Jari-jemariku merayap ke bawah membelai lembut sampai ke pusar dan perut rampingnya. Ciumanku beranjak turun, segera lidahku mulai menelusuri lehernya yang jenjangnya. Terus turun.. menuju ke bukit-bukit payudaranya yang sangat menantang, aku mencium dengan lembut bergantian yang kiri lalu yang kanan. Putingnya yang tampak telah menegang dan memerah warnanya itu, aku hisap, aku jilat, dan kadang aku gigit-gigit pelan dengan jepitan bibirku. Sementara tanganku semakin liar beraksi di sekitar celah kewanitaan dan pahanya. Sekali-kali rambut kewanitaannya aku usap-usap lembut perlahan, sambil jari tengahku menggelitik daging kecil di antara celahnya. Kacang kecil itu mulai nampak memerah, berdenyut cepat, mengembang mengempis seperti jantung manusia. Eksanti makin mendesah hebat, "Aaach..!!".

Kepalaku semakin turun ke arah bawah tubuh indah Eksanti. Lidahku mulai menyapu-nyapu perutnya, pelan.. makin ke bawah sampai pubis di daerah sekitar kewanitaannya. Kepalaku bergoyang ke kanan dan kiri, hingga bibirku ikut membasahi kulit mulus kedua pahanya. Tanganku terus mengusap-usap dan memijit betis serta telapak kakinya. Ciuman dan jilatan lidahku semakin beranjak turun menuju ke lututnya, kemudian turun lagi ke betis, tumit kaki, lalu berakhir di telapak kakinya. Jari-jemari kakinya pun aku hisap satu persatu, hingga semuanya basah oleh air liurku. Eksanti kegelian. Kepalaku beranjak naik. Bibirku mulai menghisap daerah selangkangan Eksanti dengan membuka lebar-lebar kedua pahanya. Lalu dengan sedikit kasar, daerah di antara anus dan kewanitaan itu, aku cium.., aku kecup.., aku jilat.. aku gigit.. semuanya. Eksanti mendesah-desah nikmat dan terasa mulai ada cairan lendir bening yang menetes keluar dari celah surgawinya.
"Mass..! Terus.. mass..!", Eksanti mulai meracau, pertanda bahwa birahinya sudah makin memuncak.
Aku semakin bersemangat, seluruh lekuk tubuh Eksanti tidak ada yang lolos dari jilatan lidahku.

Kepalaku masih berada di bagian bawah, terjepit diantara kedua paha mulusnya. Jemari tanganku menyibakkan bulu kewanitaannya yang hitam. Lidahku mulai asyik menjilati kacang kecilnya dan kadang menerobos, mengoyak, mencabik celah kewanitaannya. Eksanti semakin mengerang nikmat, rambutku diremas-remas kuat saat klitorisnya aku hisap-hisap lembut dengan jepitan bibirku.
"Sudah Mass.., Santi nggak tahan..!"
Tetapi aku masih belum merasa puas menikmati keindahan gelinjang tubuh dan ekspresi nikmat di wajah Eksanti. Lidahku semakin asyik bermain di liang senggamanya, dan aku ingin lebih dari itu. Aku mulai memasukkan satu jariku ke dalam rongga kewanitaannya, sementara lidahku terus menjilati klitorisnya. Jari-jemariku berputar mencari titik g-spotnya. Tanganku yang lain asyik meremas payudaranya dan memilin-milin putingnya sampai mencuat mengeras. Seluruh tubuh Santi meliuk-liuk menahan kenikmatan yang aku berikan.

Hampir setengah jam aku tiada henti memainkan emosi jiwa dan birahi Eksanti. Hingga akhirnya tubuh Eksanti mengejang kaku dan berteriak panjang melepas orgasmenya yang pertama. Terlihat dari lubang kewanitaannya mengalir deras cairan cintanya. Mulutku langsung mencucup ke arah lubang itu dan aku sedot kuat-kuat.., hingga sruutt.. lendir birahinya masuk ke dalam mulutku. Aku menggelitik terus selangkangannya supaya cairan cintanya keluar lebih banyak lagi. Ternyata benar, Eksanti masih mengeluarkan lebih banyak lagi cairan cintanya yang langsung masuk semuanya ke dalam mulutku. Rasanya asin-asin, asam dengan bau yang sangat khas. Birahiku menjadi lebih panas, berkobar-kobar lebih hebat setelah meminum lendir cintanya.

Bersambung ke Bagian 3

3 comments: