Sambungan dari bagian 03
Sebelum pewarna itu kering benar, cepat-cepat tangan kubersihkan dengan lap yang juga kubawa di dalam kantung daster. Lalu punggung Pak Kosim pun kutiup-tiup kecil supaya cepat kering. Sambil menunggu kering benar, aku berpindah memijat kakinya.
"Berbalik, Pak," bisikku lagi sesudah kuperkirakan pewarna di punggungnya kering.
Ia pun menuruti perintahku. Kupijat sebentar di atas pusarnya, lalu berpindah ke pahanya. Aku tahu ia mulai terangsang ketika kulihat gerakan-gerakan di balik celana dalamnya.
"Kita main-main sebentar, Pak," bisikku sambil membawa kedua tangannya ke atas kepala.
Kuambil tali sepatu nilon, lalu kuikat kedua tangan itu ke tiang ranjang besi tempat kami berada. Kedua tangan itu sekarang terpentang. Ia pasti tidak sanggup melepaskan dirinya sendiri tanpa bantuan.
Kuraba dadanya yang tipis. Rabaanku turun dan terus turun. Ia menggelinjang ketika celananya kuperosotkan. Sebatang benda tumpul nampak bergoyang-goyang. Tapi aku tidak terusik. Kusiapkan tali nilon lagi lalu kuikat kaki-kaki Pak Kosim kuat-kuat dengan simpul mati. Kupentangkan keduanya dan kuikat erat ke kiri-kanan tiang ranjang. Jadilah sekarang dia dalam keadaan terentang di ranjang. Aku tersenyum puas.
"Sekarang tinggal aku mempermainkannya," senyumku sambil mengenakan dasterku kembali.
Kuambil segulung benang jahit ukuran besar yang sudah kusiapkan untuk menghukumnya dengan membuatnya impoten sementara waktu. Kuharap ia akan jera dan membuatnya mengakui kesalahannya dan mengaku untuk tidak mengulanginya.
Setelah merasakan tersiksa dan tidak berdaya, aku hanya menunggu hingga pagi hari. Rencanaku adalah membuatnya tertangkap basah oleh istrinya dengan keadaan yang tidak berdaya itu. Setelah meastikan dia tidak akan telepas dengan sendirinya. Aku pun meninggalkannya sendiri di kamarnya. Aku sudah dapat memastikan kalau sebentar lagi Pak Kosim akan tertangkap basah oleh istrinya dan tidak akan mengulani perbuatannya lagi.
Kejadian itu membuatku merasa puas akan balas dendamku, dan perasaanku dan hidupku sekarang dapat lebih tenang.
*****
Beberapa hari kemudian, tepatnya malam kedua setelah kejahatan Pak Kosim ketahuan oleh istrinya dan dia mau bertobat, aku tidak dapat tidur dengan tenang. Sekitar jam satu malam aku terbangun dangan keringat membasahi hampir separuh pakaianku. Aku merasakan hawa panas melingkupi rumahku saat itu.
Ketika aku akan bangkit untuk membuka jendela kamarku, aku melihat Pak Kosim sudah berdiri di depan pintu kamarku. Pria itu tidak terlihat seperti sebelumya yang ketakutan ketika melihatku. Kali ini wajahnya penuh dengan arti kemenangan. Aku pun teringat akan jimat penangkal guna-guna yang kuletakkan di atas pintu rumahku. Benda itu kini berada di tangan kanan pria itu.
Pria itu mendekatiku seraya membuka pakaiannya. Aku tidak mampu bergerak dipandanginya. Tubuhku kaku, tetapi keringat tetap mengalir. Tiba-tiba dia mengangkat tubuhku dan membaringkanku di atas dipanku. Dia mulai membuka pakaianku. Mulai dari atas hingga bagian celana dalamku pun tidak luput darinya. Hawa dingin mulai merasupi tubuh telanjangku di tengah malam ini. Aku benar-benar sedang dalam bahaya yang tidak kuasa kulawan.
Dia mulai merangsangku dengan menjilat dan menghisap daerah-daerah sensitifku. Aku sudah terangsang, tetapi mulai kurasakan rasa sakit akibat penangkal dalam tubuhku bereaksi. Sakit itu membuatku tambah tidak berdaya, dan lebih-lebih ketika pria itu mulai menggagahiku.
Tiba-tiba ada suatu sentakan dalam diriku yang membuatnya tejungkal jatuh. Aku heran, aku yang sedang tidak berdaya tidak mungkin mempunyai kekuatan seperti itu untuk mebuatnya terjungkal. Tetapi dia kembali menggagahiku lagi, aku tetap tidak berdaya ketika pria itu kembali membentangkan pahaku. Dan dengan cepat menindih serta menghantamku lagi. Aku pasrah berdiam diri. Membiarkan tubuhku digoyang-goyang lagi. Namun baru beberapa kali gerakan, tiba-tiba.."Gdebrukk!"
Lagi-lagi Pak Kosim terjungkal jatuh.
Ia nampak amat sangat terperanjat karena kali ini tidak melihatku melakukan gerakan apa pun. Seolah ada kekuatan tidak terlihat yang mendorongnya keras. Begitu bangkit terlihat ia memegangi miliknya dan menyeringai kesakitan.
"Uffh.. Baik, kali ini kau menang lagi, Surti. Tapi aku tak akan berhenti sebelum mengalahkanmu!" ancamnya.
Setelah kata-katanya berakhir mendadak, "Buss!" tubuh Pak Kosim lenyap menjadi asap dan menghilang melalui sela-sela jendela kamarku.
"Byaar!" dunia pun seakan terang kembali di hadapanku.
Pengaruh magis Pak Kosim pada diriku ikut sirna bersama kepergiannya. Aku terduduk di tempat tidur. Merenungkan apa yang baru saja terjadi.
"Kenapa Pak Kosim tidak menepati janjinya?" aku bertanya-tanya.
"Bukankah ia bersumpah tidak akan mengulang perbuatannya lagi, dan.. dan.. bukankah ia telah impoten sejak aku berhasil menangkalnya?"
Pertanyaan itu terus berkecamuk di benakku.
"Apa mungkin ia melaporkan peristiwa dulu itu kepada dukunnya, dan minta untuk membalas dendam padaku? Bagaimana pula aku bisa punya kemampuan melawannya setelah tadi penangkalku dihancurkan?"
Pertanyaan-pertanyaan tadi tetap tidak terjawab sampai mataku menjadi berat minta istirahat. Aku tidak perduli dengan pakaianku yang masih bertebaran. Esoknya terjadi kegemparan di antara orang-orang kampungku. Pak Kosim diketemukan tergeletak pingsan di bawah pohon besar tempat aku pernah ditemukan. Sewaktu dulu aku yang mengalami, beritanya tidak begitu meluas, karena aku orang kecil. Namun sekarang peristiwa yang sama dialami Pak Kosim yang pengurus RW, beritanya jadi cepat menjalar.
Konon, ketika ditemukan Pak Kosim hanya bercelana dalam serta nampak kesakitan dan terus memegangi pangkal pahanya yang kelihatan bengkak dan memar-memar biru. Benakku segera menghubungkan kondisi Pak Kosim itu dengan pengalamanku semalam.
"Biar tahu rasa dia!" pikiranku mendampratnya.
Kebetulan hari itu juga aku harus mengambil cucian di rumahnya. Beberapa tetangga masih kelihatan di halaman depan rumah itu ketika aku masuk. Diam-diam aku masuk dan menguping pembicaraan orang-orang itu tanpa mereka ketahui.
"Katanya sih Pak Kosim dibawa penunggu pohon itu."
"Iya, dulu juga si Surti tukang cuci itu pernah mengalami hal yang sama."
"Kok saya tidak tahu ya? Kapan itu?"
"Yah, kira-kira dua bulan yang lalu.."
"Tapi sekarang Pak Kosim nampaknya parah lho.. tubuhnya sakit semua, malah.. alat vitalnya juga.."
"Jangan-jangan..," suaranya semakin berbisik, "Penunggu pohon itu wanita dan telah memperkosanya hi.. hi.. hi.."
Aku tersenyum kecut mendengar dugaan yang terakhir ini. Oh, orang kalau sudah ngomongin orang.. Orang lain yang sedang tertimpa musibah pun bisa menjadi bahan tertawaan dan lelucon. Sepertinya dia yang paling tahu dan benar saja. Coba kalau dia sendiri yang mengalami musibah itu, apa masih bisa tertawa?
Sementara itu menurut tukang kebunnya, Bu Kosim serta anak-anaknya sedang mengantarkan Pak Kosim ke dokter untuk diperiksa. Di bagian dalam rumah agak sepi. Maka aku pun memberanikan diri memasuki kamar utama, tempat aku dulu pernah dizinahi Pak Kosim. Untung tidak dikunci. Mataku memandang berkeliling. Kolong ranjang pun tidak ketinggalan kuperiksa.
Akhirnya setelah membuka beberapa laci meja dan lemari yang tidak terkunci, kutemukan benda yang tidak sepantasnya ada di kamar itu, yakni celana dalamku! Aku ingat benar benda itu adalah milikku yang tertinggal dulu. Pak Kosim pasti sengaja menyimpannya supaya dapat tetap mengguna-gunaiku. Aku telah tertipu pada mulut manisnya yang mengungkapkan penyesalannya waktu itu.
Memang, setelah dia berhasil kutaklukkan dulu di hadapan istrinya sendiri, sempat kulihat dan rasakan hubungan kami menjadi tidak yang seperti dulu yang Pak Kosim acuh tidak acuh terhadapku. Tetapi bagaimana dengan penjelasan celana dalamku ini?
Sebenarnya hukuman untuknya sudah cukup besar dariku, karena sudah menerima rasa malu dari kekalahannya dan ketahuannya dariku. Belum lagi ditambah dengan istrinya yang marah besar melihat suaminya berani memasukkan wanita sembarangan ke kamar mereka. Lebih lagi wanita itu ternyata hanya meperdayai suaminya. Apapun akibatnya, sekarang Bu Kosim jadi tahu karakter suaminya. Ternyata ia bukan pria yang dapat dipercaya begitu saja. Ditambah lagi sekarang Pak Kosim ditemukan orang tidur setengah telanjang di bawah pohon. Apalagi yang dilakukannya kali ini?! Betapa menjengkelkan tua bangka ini, sekaligus memalukan!
Kubawa celana dalamku itu. Kutaruh bercampur dengan cucian yang kuambil. Aku akan membakarnya supaya tidak ada lagi sisa-sisa barang yang dapat dipakai untuk mengguna-gunaiku. Meski begitu, aku sebenarnya masih agak penasaran kenapa Pak Kosim bisa terkapar pingsan di bawah pohon itu. Apakah ada kekuatan lain yang telah mengalahkannya? Bukankah ia, dengan berubah menjadi asap, sudah pergi dan tubuhnya tidak mengalami cedera berat setelah gagal menodaiku? Jangan-jangan ia mengira aku yang telah mempermalukannya di bawah pohon itu. Bagaimana kalau ia masih mau membalas dendam lagi?
Kekuatiran dan rasa penasaran itu membuatku tidak dapat tidur nyenyak selama beberapa hari. Haruskah kutemui Mbah Purwo kembali untuk memupus kegelisahanku ini?
"Jadi begitu ceritanya, Surti," ujar Mbah Purwo setelah mendengar ceritaku.
Kali ini aku tidak malu menceritakan tentang usaha Pak Kosim menggagahiku lewat guna-guna lagi. Bahkan sampai membuatku beku dan mendatangi rumahku. Mbah Purwo juga sudah tidak sungkan-sungkan lagi memanggilku tanpa sebutan "Mbak" lagi. Mungkin ia merasa akrab sejak "memasang" penangkal pada tubuhku dulu.
"Iya, Mbah. Bagaimana ini?" tanyaku.
"Kalau menurutku, Pak Kosim sendiri memang tidak mungkin lagi berani mengguna-gunai siapa pun sejak berhasil kau lumpuhkan. Ia pun sekarang memang sungguh-sungguh sedang mengalami impoten. Hal ini dapat dianggap sebagai tumbal yang harus ia tanggung karena sudah memakai guna-guna hitam itu. Meskipun impotennya itu hanya bersifat sementara. Aku menduga, kemungkinan besar yang datang ke rumahmu kemarin itu adalah Mbah Dipo, dukunnya Pak Kosim. Hanya saja ia menggunakan raga Pak Kosim sebagai sarananya. Reputasi dukun ini memang kurang baik di mata dukun-dukun lain. Ia sering menghalalkan segala cara."
Aku manggut-manggut mencoba memahami dunia para dukun.
"Rupanya Pak Kosim melaporkan kekalahannya olehmu itu. Lalu Mbah Dipo, yang merasa tidak suka, berupaya menyakitimu. Memang ia telah menghancurkan penangkal yang kuberi itu, tapi ia tidak menduga bahwa aku pun telah memasang Paku Bumi di tubuhmu. Dan kebetulan sekali ia beraksi tepat pada waktu Paku Bumi juga sedang bekerja. Seandainya ia bersabar sedikit barang lima menit pastilah maksudnya akan kesampaian. Kau ingat kan, Sur, bahwa Paku Bumi hanya bereaksi sekitar lima menit. Setelah itu ia akan melemah dengan sendirinya. Bila dalam masa lima menit tadi ada yang memaksakan kehendaknya, maka otomatis penangkal ini akan bereaksi keras menolaknya. Bila yang memaksakan kehendak adalah orang yang dipasangi penangkal ini, maka engkau akan merasakan kesakitan yang luar biasa. Bila yang memaksakan kehendak adalah orang lain, maka ia akan ditolak dengan rasa sakit luar biasa pada alat vitalnya. Kurasa orang itu mengalami hal itu.."
No comments:
Post a Comment