As the sayang goes, "Life begins at forty". Dari dulu aku sudah sering mendengar pepatah klise itu. Tetapi makna yang sebenarnya baru mulai kumengerti setelah melewatinya sendiri selama beberapa tahun terakhir ini.
Kini, pada usia 41 tahun, aku menyempatkan diri untuk merenungkan dan mencatatnya. Telah banyak catatan yang kubuat dan aku pisah-pisahkan berdasar aspeknya, mengingat aspek hidup kita (yang dimulai pada usia 40 itu) cukup banyak, antara lain aspek religiositas, karir, sosial, intelektualitas, family life, dan lain-lain. Beberapa catatan hanya kupercayakan kepada hard disk untuk menyimpannya, sebagian lagi aku posting di milis. Kalangan tertentu mengenalku dari tulisan dan talk-show di media massa--tentu hal ini berkenaan dengan aspek intelektualitas.
Ada satu aspek yang kuanggap paling cocok dipublikasikan di sini, yaitu seksualitas. Seks, bagiku tetap menjadi sebuah misteri yang tak kunjung memberikan jawaban pasti. Aku terbiasa menggunakan akal untuk memahami segala hal. Tetapi daya pikirku belum pernah berhasil memberikan penjelasan logis tentang hal ini. Seks memang bukan semata-mata urusan daging, otot, syaraf dan hormon. Seks lebih berkaitan dengan emosi yang multi dimensi.
Jadi, catatan ini akan lebih menarik bagi pembaca yang ingin mengeksplorasi emotional side of sexuality. Ini bukan sebuah cerita yang menyajikan aktifitas seksual fisik sebagaimana film biru. Anda pun akan kecewa bila mengharapkan tinjauan yang scientific. I'm not a psychologist.
1st PHASE: HIDDEN FANTASY
Hidup berrumahtangga telah kujalani selama 15 tahun. Pada waktu menikah, usiaku 26, dan isteriku 21. Saat itu ia masih kuliah tahun ke tiga. Jadi saat ini isteriku tercinta berumur 36 tahun. Untuk mempermudah, baiklah kunamakan diriku Gagah (saya kira memang begitu.. ehmm), dan isteriku Indah. Kami telah menjalani hidup yang harus disyukuri--everything goes well. Karirku baik. Usaha Indah, meskipun kecil-kecilan berkembang dengan baik dan sustainable. Most, kehidupan seksual kami tergolong 'bergairah'.
Sejak kurang-lebih lima tahun terakhir ini, aku diganggu sebuah khayalan seksual. Birahiku terpacu bila membayangkan Indah yang kucintai dengan segenap jiwa-raga itu bercumbu dengan laki-laki lain! Ini edan! Awalnya aku selalu menepis dan berusaha membuangnya jauh-jauh. Kuanggap kedatangannya adalah sebuah mimpi buruk. Tetapi ia selalu datang lagi, dan datang lagi. Lama-kelamaan kedatangannya semakin sering, dan semakin enggan disuruh pergi.
"Kalau kamu memang tak mau juga pergi, tinggal sajalah di sini" gumamku dalam hati, dan kujadikanlah khayalan itu sebagai bagian dari hidupku. Kujadikan ia teman, sehingga predikatnya sebagai 'mimpi buruk' berubah menjadi 'mimpi indah'. Kubiarkan ia menjadi fantasi yang menstimulasi gairah birahi sampai ke tingkatnya yang paling tinggi. Meskipun tentu saja semuanya kusimpan dengan rapi. Indah tak tahu bahwa gelora nafsuku yang menggelombang itu adalah akibat dari sebuah fantasi--pada saat bercumbu dengannya, aku membayangkan bahwa yang mencumbuinya adalah laki-laki lain. Di antara beberapa laki-laki yang pernah singgah di benakku sebagai aktor pencumbu isteriku, salah satunya menjadi 'bahan fantasi' yang sempurna. Ia adalah Sigap, pacar Indah selama 4 tahun, sejak kelas satu SMA sampai menjelang Indah menerima cintaku pada akhir tahun pertama kuliahnya di Yogyakarta.
Membayangkan kemesraan mereka saat berpacaran sungguh memacu rasa cemburu sampai ke ubun-ubun. Tetapi aku sendiri heran, mengapa rasa cemburu tidak berubah menjadi energi kebencian dan kemarahan. Cemburu memang terasa seperti debu panas yang memenuhi seluruh rongga paru-paru. Tetapi panas dari dalam dada itu kemudian tidak menyalakan dendam kesumat, melainkan menyulut birahi. Dan kunikmati.
Demi kenikmatan semacam itu, aku terus-menerus mereka-reka, apa saja yang mereka lakukan saat berpacaran. Mereka sangat dekat selama empat tahun. Tentu dalam kurun waktu itu, banyak hal yang telah mereka lakukan. Tidak mungkin mereka hanya berpegangan tangan dan cheek to cheek. Saya pikir, paling tidak mouth to mouth sudah pasti menjadi ritus wajib mereka. Begitulah seterusnya, otakku membuat skenario tentang cara mereka saling mengungkapkan cinta sampai ke cara yang paling advanced, yaitu sex intercourse. Semakin nyata dan alamiah skenario yang berhasil kumainkan di benakku, semakin besar pula kekuatan stimulasinya terhadap birahiku.
Skenario rekaanku sendiri semacam itu telah kujadikan teman bermain yang sangat menyenangkan selama lebih dari satu tahun. Gairahku yang meledak-ledak ternyata memperoleh imbangan yang memadai dari Indah. Kami benar-benar excited by sex seperti masa pengantin baru. Terasa semakin besar pula perhatian dan kasih-sayang Indah kepadaku.
Tetapi lama-kelamaan, nilai setiap rekaan semakin turun, karena aku menginginkan cerita yang baru. Sebuah skenario akan mulai melemah daya dorongnya setelah kupakai lima sampai sepuluh kali. Pada akhirnya, daya reka otakku tak mampu lagi membuat alur cerita erotis baru yang cukup baik. Melemah pulalah ledakan-ledakan gairahku, dan our excitement was fading away.
Khayalan yang dulu kuanggap mimpi buruk telah kuubah menjadi mimpi indah. Ia telah menjadi teman yang kuinginkan selalu dekat dengan hidupku. Kini, seolah-olah ia semakin menjauh lagi. Hanya satu cara agar ia tak jadi pergi, yaitu mendengar pengakuan Indah tentang keadaan yang sebenarnya-apakah yang benar-benar telah dilakukannya bersama Sigap. Cerita rekaan tak lagi mampu menciptakan skenario yang riil dan alamiah. Aku harus mendapatkan the true story. Kalau itu bisa kudapatkan, niscaya akan berkobar kembali bagian dari emosiku yang bernama birahi itu.
2nd PHASE: HER TRUE STORY
Anda pasti paham bahwa untuk memperoleh cerita asli tidak mudah. Itu merupakan sebuah upaya yang harus dirancang dengan baik. Dan sebaik apapun rencana yang ada, tetap saja mengandung risiko yang besar. KesalaHPahaman bisa meretakkan hubungan kami. Dan hari-hariku disibukkan dengan usaha penyusunan siasat. Aku mengevaluasi setiap alternatif strategi dan memperhitungkan akibat terburuknya. Tidak kurang dari enam bulan kuhabiskan untuk mencari momen terbaik. Pada suatu kesempatan yang kuanggap paling pas, kujalankanlah rencanaku dengan semboyan: expect for the best, but be prepared for the worst!
Singkatnya, aku berhasil memancing Indah untuk menceritakan pengalamannya berpacaran dengan Sigap (yang memang lincah gerak-geriknya itu). Indah belum tahu motif sebenarnya mengapa saya ingin tahu. Yang ia tahu adalah jaminan bahwa apapun yang pernah ia lakukan bersama Sigap, tak akan mempengaruhi kasih sayang di antara kami. Aku akan tetap mencintainya, bahkan kujanjikan cinta yang lebih besar lagi kalau ia bersedia membuka lembaran sejarahnya.
Menurut pengakuan Indah, mouth to mouth memang merupakan menu wajib setiap berpacaran. Hanya itulah yang mereka lakukan sampai mereka lulus SMA. Setelah keduanya kuliah dan pindah kota, mereka baru mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi seks lebih jauh lagi. Di Yogyakarta, Indah tinggal di rumah kos mahasiswi, sementara Sigap di rumah Buliknya. Pertemuan lebih banyak mereka lakukan di tempat Indah, meskipun sekali-sekali Indah diajak juga ke tempat tinggal Sigap.
Tempat tinggal Indah memberikan peluang yang hampir tak terbatas untuk berbuat apa saja. Kecuali adanya pengumuman pada secarik kertas yang ditempelkan pemilik rumah yang berbunyi: TAMU PRIA DILARANG MENGINAP. Meskipun tidak menginap, toh penghuni masih bisa membawa pacarnya ke kamar dan 'bersantai' seharian, bahkan sampai pukul 10 malam yang merupakan batas waktu dimana tamu pria harus hengkang.
Di kamar Indah itulah, mouth to mouth hanyalah menjadi menu pembuka. Bermesraan tidak lagi mereka lakukan sambil duduk berdampingan. Mereka lebih sering melakukannya sambil berbaring, berpelukan dalam posisi sebagaimana orang sedang bersenggama. Seluruh permukaan kulit Indah pernah memperoleh sentuhan tangan Sigap, termasuk kemaluannya. Organ mulut Sigap pernah pula menikmati kehalusan bagian atas tubuh Indah, dari muka, leher, pundak, sampai ke payudara dan puting susu Indah. Sementara Indah pun sering menciumi dada Sigap. Dengan senang hati tangannya selalu memegang, menggenggam, dan mengelus batang kejantanan pacarnya itu.
'Upacara' selalu diakhiri sejenak setelah Sigap menumpahkan kepuasan melalui kelelakiannya di dalam genggaman tangan Indah. Indah pun mengaku dirinya telah belajar dan berhasil mencapai puncak kenikmatan asmara setelah beberapa kali jari-jari Sigap digembalakan di permukaan dan bagian dalam kemaluannya. Tetapi tidak lebih dari itu. Indah tak pernah mengijinkan Sigap melucuti seluruh pakaiannya. Paling tidak, celana dalam masih menjadi pelindung terakhir. Indah pun menolak ketika Sigap setengah memaksa untuk menyusupkan batang kejantanannya ke celana dalam Indah. Itulah cerita terjauh yang berhasil kuungkapkan. Aku percaya, karena senyatanya keperawanan Indah adalah milikku.
Kudapat sudah yang kuinginkan. Cerita itu terekam dengan sangat baik di benakku, sehingga aku bisa dengan mudah memainkannya menjadi sebuah drama angan-angan, kapan saja aku mau menikmatinya. Tetapi biasanya aku mengubah seting waktunya. Kubayangkan mereka melakukan hal itu pada saat ini, pada keadaan mereka sekarang ini, bukan dulu ketika mereka melakukannya di kamar kos Indah. Dan sudah tentu otakku menciptakan sendiri adegan-adegan 'lebih lanjut', tidak berhenti sampai hanya saling rangkul, cium dan belai itu.
Dan gairahku menjadi meledak-ledak lebih hebat dari sebelumnya. Datangnya pun bergulung-gulung seperti ombak yang tak kunjung surut. Indah mengimbanginya dengan hebat pula. Nafsunya memburu berpacu seiring dengan nafsuku. Dan kami pun bukan lagi excited by sex, tetapi sudah 'sexcited'. Bahkan untuk menuruti the passion kami kadang-kadang menginap di hotel.
Setelah hampir tiga tahun menikmati fantasi yang benar-benar fantastis itu, aku mulai merasakan ketidaksehatannya. Meskipun fantasi rahasia itu masih mampu memacu birahi, tetapi terlalu lama menyimpan rahasia membuatku tidak nyaman. Sejauh ini, Indah mengira bahwa 'life begins at forty' itu datang secara alamiah. Ia sama sekali tidak tahu bahwa khayalan-khayalan itulah yang selama ini mempunyai peran terbesar.
Indah sangat bersyukur bahwa hubungan yang menghambar tiba-tiba bergairah kembali dan mempertebal kasih sayang kami. Haruskah aku menghancurkan kebahagiaan dan rasa syukurnya? Aku berada di sebuah persimpangan. Aku tak kuat membiarkan dadaku dierami rahasia, tetapi aku tak tega pula menghancurkan kebahagiaan isteriku tercinta.
Bagiku, fantasi semacam itu tidak perlu dinilai normal atau abnormal, benar atau salah. Yang perlu kulakukan adalah menata sikap terhadapnya. Dan masing-masing orang boleh menentukan sikap dan tindakannya sendiri-sendiri. Aku sedang mencari justifikasi sikap yang telah kumiliki. Pada bagian tulisan berikutnya yang sedang saya persiapkan Anda akan bisa mengikuti sikap dan tindakan saya selanjutnya sebagai intersepsi dari situasi semacam ini.
Ke bagian 2
No comments:
Post a Comment