Dari Bagian 2
Hesti kemudian berjongkok dan pantatnya bergerak naik turun, memutar dan maju mundur seperti joki yang sedang memacu kudanya. Payudaranya bergoyang-goyang dan segera kuremas-remas. Aku bergerak menaikkan tubuhku sehingga kini posisiku duduk memangkunya. Payudaranya kupermainkan dengan tangan dan mulutku. Tangannya memegang pahaku, dadanya semakin tegak dan kepalanya mendongak. Tidak ada bagian tubuh atasnya yang kulewatkan. Gerakan pantatnya semakin dipercepat sampai tubuhnya seakan meliuk-liuk.
Aku bangkit berdiri dan kuangkat tubuhnya, tanpa melepaskan penisku dari vaginanya kugendong ke ranjang. Aku ingin menuntaskan di atas ranjang yang empuk. Ternyata sebelum mencapai ranjang penisku terlepas.
Kurebahkan tubuhnya di ats ranjang dengan kaki mengangkang. Aku menjilat pangkal pahanya dan kususuri betis hingga pahanya dan kemudian lidahku sudah menggelitik vaginanya yang kemerahan. Ia semakin menekan kepalaku ke selangkangannya dan meremas-remas rambutku. Sementara itu tanganku bekerja mengusap, meremas dan memilin payudaranya. Akhirnya ia sudah tidak sabar minta kusetubuhi.
"Anto cepat To.. Ayo aku sudah tidak tahan lagi. Masukin oohh.. Masukin!"
Aku naik ke atas tubuhnya dan mengarahkan penisku ke vaginanya. Dengan sedikit mengangkat kakinya, maka penisku dengan mudah amblas ke dalam vaginanya. Kupompa vaginanya, sementara bibir kami di atas juga saling berpaut. Tangannya memeluk punggungku sedangkan tanganku meremas payudaranya atau mengusap pinggulnya. Kami bergerak saling menimba kenikmatan agar gairah kami segera tuntas.
Ia memutar pinggulnya dan penisku tersedot sedemikian rupa sehingga kadang aku harus menghentikan gerakanku agar spermaku tidak cepat tumpah. Dinding vaginanya sama sekali tidak berdenyut, namun sedotan akibat gerakan memutar pinggulnya membuatku untuk cepat menyelesaikan babak ini.
Kukencangkan penisku dan kukocok vaginanya dengan cepat sampai terdengar bunyi paha beradu dan seperti tanah becek yang terinjak kaki. Semakin cepat kami bergerak, maka sedotan pada peniskupun semakin kuat sehingga akhirnya..
"Hesti.. Ohh Hesti.. Nikmat sekali..!"
"Ouuhh Anto, kamu benar-benar.. Ouhh..!"
Kami mengendorkan gerakan untuk sedikit menurunkan gairah. Setelah gairahku turun, kupacu lagi kuda binalku ini untuk segera mencapai finish.
"Anto.. Yacch.. Ayo sekarang keluarkan. Kita sama-sama..!" Ia menggigit lenganku. Kakinya membelit pinggangku segera kuhantam dengan keras vaginanya dengan penisku dan.. Croott.. Crott.. Crott... Ia pun mengejang, pantatnya naik menyambut hunjamanku dan ia merapatkan tubuhnya padaku. Menyemburlah spermaku di dalam vaginanya dan kamipun berpelukan lemas.
Setelah napas kami teratur, kami mengobrol tentang keadaan kota kami. Dari tadi malam identitas diriku berusaha kututupi, aku belum mau dikenalinya.
"Ayu sekarang di mana?" tanyaku.
Aku tercekat karena pertanyaan ini akan membuka rahasia diriku, namun sudah telanjur. Ayu adalah adiknya yang juga teman sekelasku. Ia memandangku keheranan.
"Kamu kenal Ayu?" tanyanya. Sudahlah, aku akan berterus terang siapa diriku ini sebenarnya.
"Ya, dan aku kenal almarhum Pak Setyo," kataku tersenyum. Pak Setyo adalah ayahnya yang sudah almarhum. Ia makin keheranan dan memandangku tajam menyelidik.
"Kamu.. Kamu.."
"Ya, aku Anto, tetanggamu di kampung. Sorry kalau aku dari tadi malam menutupi identitas diriku".
Ia menarik napas panjang dan menutup mukanya dengan bantal. Setelah beberapa saat ia kemudian menatapku dan menggelengkan kepalanya.
"Dari semula aku merasa ada yang aneh. Seakan-akan aku pernah mengenalmu, tapi aku lupa kapan dan di mana. Kenapa kamu merahasiakan dirimu?"
"Sekali lagi sorry, bukan maksudku berbuat jahat begini".
Tentu saja, mungkin kalau identitas diriku kubuka dari awal belum tentu aku dapat menikmati tubuhnya.
"Hh.. Ya sudah, sudah telanjur mau apa. Apa lagi permainanmu tadi dahsyat juga," akhirnya ia berkata dan mencubit lenganku kuat-kuat sampai meninggalkan bekas kemerahan.
"Kita pulang sekarang?" tanyaku.
Ia kelihatan ragu dan menatapku minta pertimbangan. Kutatap matanya dengan penuh percaya diri dan seolah untuk memberi tekanan untuk melanjutkan permainan ini sampai sore nanti.
"Baiklah, aku menyerah. Aku sudah telanjur kalah telak," katanya hambar.
"Nggak begitu, kadang kita perlu sedikit kejutan dalam hidup ini agar tidak monoton," kataku.
Menjelang tengah hari kuajak ia makan sate dan sup kambing. Ia hanya tersenyum dan menatapku menggoda.
"Mau nanduk nih?" sindirnya.
"Persiapan saja," kataku singkat.
Kuajak ia ke sebuah Department Store di dekat situ. Kubelikan ia sebuah baju tidur hijau muda tipis dan lingerie hitam transparan. Aku ingin ia memakainya nanti di kamar pada saat foreplay permainan berikutnya. Membayangkan hal demikian membuat aliran darahku semakin cepat.
Kami kembali ke hotel. Aku merebahkan tubuhku di ranjang tanpa melepas pakaianku. Hesti masih sibuk mematut-matut pakaian yang kubelikan.
"Sudah, pakai saja. Aku juga ingin menikmati tubuhmu dengan pakaian itu," kataku dengan sedikit tekanan.
Hesti masuk ke kamar mandi sambil membawa bungkusan pakaiannya. Aku memejamkan mataku dan berbaring miring membelakangi pintu kamar mandi. Tak lama kurasakan Hesti keluar dari kamar mandi. Aku sengaja tidak menengok ke arahnya meskipun hatiku penasaran ingin melihat tubuhnya di balik pakaian tidur dan lingerrie yang transparan.
"Anto.. To. Bagaimana menurutmu?" tanyanya.
Perlahan aku berbalik dan duduk di tepi ranjang dan kulihat ia makin menarik dengan pakaian seperti itu. Dengan pakaian seperti itu seolah-olah ia dalam keadaan telanjang bulat diselimuti kabut tipis. Belahan dadanya sangat rendah sehingga makin menonjolkan lekuk dadanya. Ia menggoyang-goyangkan badan dan membusungkan dadanya. Hesti duduk di pangkuanku dan tangannya merangkul leherku. Kepalanya disandarkan dan digesekkannya ke pipiku.
"To, aku merasa sangat seksi dan ada semacam gairah berbeda dengan gairah yang tadi," katanya. Kubelai pundaknya dan kuusap perlahan.
Ia tidak sabar lagi. Diciumnya pipiku dan tangannya tergesa-gesa membuka kancing bajuku.
"Ayo To kita berpacu lagi. Puasin aku lagi!" rintihnya sambil memejamkan matanya.
Mulutnya berhenti merintih waktu bibirku memagut bibirnya yang merekah. Lidahku menerobos ke mulutnya dan menggelitik lidahnya. Hesti menggeliat dan mulai membalas ciumanku dengan meliukkan lidahnya. Tanganku mulai menari di atas dadanya. Kuremas dadanya. Kurasakan payudaranya sudah mengeras. Jariku terus menjalar mulai dari dada, perut terus ke bawah hingga pangkal pahanya. Hesti makin menggeliat kegelian. Lidahku sudah beraksi di lubang telinganya dan gigiku menggigit daun telinganya.
Kugeser tubuhnya sehingga ia duduk di atas pahaku membelakangiku. Tanganku yang mendekap dadanya dipegangnya erat. Payudaranya terasa mengencang. Kucium rambutnya. Mulutku menggigit tengkuknya. Hesti kini benar-benar sudah takluk dalam pelukanku meskipun ia sudah mengetahui identitasku.
Badannya mulai menghangat dan detak jantungnya semakin cepat. Bibir dan hidungku makin lancar menyelusuri kepala dan lehernya. Hesti makin menggelinjang apalagi waktu tanganku meremas buah dadanya yang masih tertutup baju tidur itu dari belakang. Kuletakkan mukaku dibahunya dan kusapukan napasku di telinganya. Hesti menjerit kecil menahan geli dan rasa nikmat. Ia mempererat pegangan tangannya di tanganku.
Kuangkat tubuhnya berdiri tetap dalam pelukanku. Tangannya bergerak ke belakang dan meremas isi celanaku yang mulai memberontak. Aku merendahkan badan dan mulai mencium dan menggigit punggungnya. Ia mendongakkan kepalanya dan berdesis lirih tertahan. Gigi atas menggigit bibir bawahnya.
Aku menunduk di belakangnya dan meneruskan aksi tanganku ke betisnya, sementara bibirku masih bergerilya di sekitar pinggul dan bongkahan pantatnya. Ia merentangkan kedua kakinya dan tubuhnya bergetar. Kucium pahanya dan kuberikan gigitan semut. Ia makin meliukkan badannya, namun suaranya tidak terdengar. Hanya napasnya yang mulai memburu.
Pada saat ia sedang menggeliat, kuhentikan ciumanku di lututnya dan aku berdiri di hadapannya. Kuusap pantat dan pinggulnya. Kembali ia berdesis pelan. Tubuhnya memang padat dan kencang. Lekukan pinggangnya indah, dan buah dadanya nampak bulat segar dengan puting tegak menantang berwarna coklat kemerahan.
Dengan cepat langsung kusapukan bibirku ke lehernya dan kutarik pelan-pelan ke bawah sambil menciumi dan menjilati leher mulusnya. Hesti semakin merepatkan tubuhnya ke dadaku, sehingga dadanya yang padat menekan keras dadaku. Bau tubuhnya dengan sedikit aroma parfum makin menambah nafsuku. Ia menggerinjal dan mulutnya mulai menggigit kancing bajuku satu persatu.
Dengan sebuah tarikan pelan ia melepas bajuku. Diusap-usapnya dadaku dan kemudian putingku dimainkan dengan jarinya. Kucium bibirnya, ia membalas dengan lembut. Lumatanku mulai berubah menjadi lumatan ganas. Ia melepaskan ciumanku. Ia menatap mataku dan berbisik..
"Ayo To.. Kita masih punya waktu sampai sore. Aku ingin kita bermain dengan pelan tetapi bergairah!"
Kubuka kancing baju tidurnya. Kini tangannya membuka celana panjangku. Kini kami tinggal mengenalan pakaian dalam saja. Bra dan celana dalamnya berwarna hitam berpadu dengan kulitnya yang sawo matang. Bra-nya yang transparan tidak cukup memuat buah dadanya sehingga dapat kulihat lingkaran kemerahan di sekitar putingnya. Celana dalamnya menampilkan bayangan 'padang rumput hitam' di bawah perutnya.
"Eehhngng.." Ia mendesah ketika lehernya kujilati. Kulirik bayangan kami di cermin lemari kamar.
Hesti mendorongku ke ranjang dan menindih tubuhku. Tanganku bergerak punggungnya membuka pengait bra-nya. Kususuri bahunya dan kulepas tali bra-nya bergantian. Kini dadanya terbuka polos di hadapanku. Buah dadanya besar dan kencang menggantung di atasku. Putingnya berwarna coklat kemerahan dan sangat keras. Digesek-gesekkannya putingnya di atas dadaku.
Bibirnya lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Hesti mendorong lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku kemudian memainkan lidahku dengan menggelitik dan memilinnya. Aku hanya sekedar mengimbangi. Akan kubiarkan Hesti yang memegang kendali permainan. Sesekali ganti lidahku yang mendorong lidahnya. Tangan kananku memilin puting serta meremas payudaranya.
Ke Bagian 4
No comments:
Post a Comment