Setelah hubungan saya dan Vita bubar, saya mencoba mendekati wanita lain untuk berusaha melupakan Vita. Walaupun akhirnya saya sendiri yang mundur teratur karena takut wanita ini sakit hati karena saya selalu membandingkan dia dengan Vita. Dan inilah sebagian ceritaku dengan Vony.
Seperti biasa, setiap hari Sabtu malam aku selalu ke Fantasia Galeria. Main video game di sana. Sejak hubunganku dengan Vita bubar, aku tidak ada kerjaan lain selain main game kalau malam minggu. Setelah main beberapa kali aku duduk di kafe sambil minum Fanta, minuman favoritku di sana. Dari arah Time Zone aku melihat ada seorang wanita yang cantik. Aku akui wanita ini lebih cantik dari Vita, tapi ada kesan judes dan sombong di wajahnya. Berambut panjang sepunggung (lebih panjang dari Vita), ikal dan berwarna kemerahan. Tubuhnya bisa dikatakan montok jika tidak mau dikatakan gemuk, tidak gemuk memang. Dadanya aku tidak tahu ukuran berapa, karena untuk ukur-mengukur aku memang bukan ahlinya. Aku duduk di bar dan wanita itu bersama 2 orang wanita lain temannya duduk di meja, di depanku. Secara garis lurus aku bisa memandang dia secara langsung. Aku benar-benar tertarik dengan kecantikan wanita ini. Kupandangi dia terus sampai beberapa kali sehingga aku tertangkap basah sedang memperhatikan dia.
Setelah agak puas, aku kemudian meneruskan main game. Sekitar pukul 20.45, kuajak temanku pulang, cari roti bakar. Dan biasanya setelah main game aku memang makan roti bakar di daerah UGM. Di tangga turun aku melihat wanita yang tadi ada di situ. Lalu dengan membesarkan hati dan memberanikan diri, kuajak dia kenalan.
"Vony", begitu dia sebut namanya.
"John", sahutku.
"Ini temanku Lily", sambungnya.
"Hai.." sahutku.
Inilah pertama kalinya aku kenalan dengan wanita di tempat umum seperti ini. Selama ini teman wanitaku selalu teman kuliah. Teman SMA wanitaku sedikit sekali, soalnya SMA-ku tuh laki-laki semua. Jadi teman wanita SMA-ku paling dari SMA yang wanita semua karena 2 sekolah kami sering mengadakan malam keakraban waktu SMA dulu. Untuk pertama kalinya aku mengenal wanita di luar lingkup studiku. Kami mengobrol beberapa menit dan akhirnya berpisah karena dia juga sudah mau pulang. Dan bodohnya aku, aku lupa tidak meminta nomor teleponnya.
Selang beberapa hari, aku tahu kalau Lily itu adiknya teman kuliahku. Akhirnya dengan sedikit usaha aku bisa dapatkan nomor telepon Vony. Hari Kamis malam kutelepon Vony untuk pertama kalinya. Kami mengobrol beberapa hal dan sebelum kututup dia kuajak keluar bareng malam minggu nanti.
"Besok malam minggu kamu ada acara nggak?" tanyaku.
"Memangnya ada apa?" Vony balik bertanya.
"Nggak.., nggak ada apa-apa. Kalo nggak ada acara aku mau ajak kamu keluar makan", kataku.
"Hmm.. Oke", jawabnya setuju.
"Yap.. jam 7 malam nanti kujemput", lanjutku senang.
"Baik, aku tunggu", jawabnya. Dan kami ber-say goodbye lalu telepon kututup.
Malam minggu itu aku keluar makan malam dengannya. Acara berlangsung lancar tiada hal yang istimewa. Kami makan dan ngobrol terus pulang. Maklum, di Yogya tidak ada tempat hiburan. Ada sih beberapa diskotik, tapi aku tidak suka tempat seperti itu. Lampu diskonya itu yang bikin aku pusing. Kampungan, pasti itu pikiran beberapa orang dari kalian yang membaca ini. Nggak apa-apa, sampai saat ini aku tidak pernah menyesal dan malah bergembira karena aku tidak pernah menyukai kehidupan malam seperti itu. Malam minggu itu berakhir biasa, aku antar dia pulang dan setelah itu aku pulang.
Sejak hari itu aku sering main ke rumahnya. Beberapa minggu perkenalan kami biasa saja. Aku masih belum menyinggung soal suka dan sayang apalagi cinta. Aku jalani saja dengan pelan. Sampai akhirnya, hari itu Jumat malam, aku main ke rumahnya. Tetapi aku hampir saja pulang lagi karena kulihat Vony sudah bersiap pergi dengan keluarganya.
"Mau pergi, Von?" tanyaku.
"Tadinya sih, tapi kamu sudah di sini, ya udah.. aku nggak jadi ikut", jawabnya.
"Wahh.. kalau mau pergi ya pergi aja, nanti Papa marah lho kalau kamu nggak jadi ikut. Aku pulang khan nggak masalah", kataku.
"Nggak ah.. dasarnya aku tuh dari tadi udah malas untuk ikut. Kebetulan kamu datang jadi aku ada alasan nggak ikut", jawab Vony.
"Waduhh.. celaka nih", pikirku. Belum-belum sudah bikin masalah sama papanya Vony nih. Tapi untungnya keluarganya tidak begitu mempermasalahkannya. Dan akhirnya kami ditinggal berdua di rumah itu bersama 1 orang pembantu. Kami ngobrol di ruang depan yang digunakan untuk salon kecantikan.
Kemudian Vony memutar lagu dari CD componya. Lagu slow yang mengalun santai. Lalu dia mengajak aku dansa. "Dansa yuk.." ajaknya. "Ha.." aku kan tidak bisa dansa pikirku. Memang sih aku pernah belajar dansa dari papaku yang jago dansa. Tapi terakhir kali kulakukan tuh SMP. Sudah 5 tahun lebih. "Sudah ayoo.. pelan-pelan aja", katanya seperti tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku beranjak berdiri dan kemudian berdansa dengan pelan. Aku tidak tahu itu jenis yang mana, tapi yang jelas slow dance. Kami berdansa sambil berpelukan. Makin lama pelukanku semakin erat. Dan tangan Vony yang semula merangkul pinggangku naik merangkul leherku. Dadanya yang besar, jauh lebih besar dari Vita menempel erat di dadaku. Terhimpit erat sekali.
Makin lama aku semakin panas saja. Panas dari hawa yang memang panas dan juga panas hasil dari pikiranku yang makin tidak karuan. Tanganku yang semula hanya merangkul diam mulai membelai rambutnya yang panjang. Kepalanya yang semula direbahkan di dadaku kemudian menengadah. Kulihat bibirnya yang berwarna merah sedikit terbuka. Kemudian kuturunkan wajahku dan mengecupnya lembut. Makin lama kecupanku semakin bernafsu. Semula yang mengecup lembut kemudian menjadi lumatan-lumatan yang membuatnya mendesah. Lidahku berusaha kumasukkan ke mulutnya dan kami bersilat lidah di dalam rongga mulutnya. "Hhmmpph.." rintihnya. Tanganku yang satu membelai rambutnya. Tanganku yang satu lagi turun ke pantatnya dan mulai meremas lembut.
"Ikkhh.. nakal", jeritnya tertahan karena terkejut. Tapi setelah itu mulutnya langsung memburu bibirku lagi. Kami pun meneruskan ciuman kami dan pantatnya semakin kuremas-remas gemas. Entah bagaimana yang jelas kami berdua tinggal memakai pakaian dalam. Kemudian karena capai berdiri, tubuhnya kurebahkan di kursi keramas. Jadi tubuhnya setengah berbaring. Kemudian bra-nya kulepas dan kudaratkan ciumanku ke dadanya yang besar itu. Kucium satu persatu dan kupermainkan putingnya dengan lidahku. "Ahh.. John.. enak.. truss.." rintihnya. Rintihannya membuatku semakin gemas saja untuk menciuminya. Tanganku juga tidak mau tinggal diam, mulai membelai bukit senggamanya dari luar. "Akkhh.. hhmmpp.." rintihnya tertahan saat jariku mulai menggosok liang kenikmatannya dari luar.
Ciumanku semakin gencar juga mencerca dadanya. Makin lama ciumanku semakin turun. Ke perut, pusar dan terus turun ke bukit kemaluannya. Kuturunkan celana dalam yang menjadi pelindung terakhirnya. Akhirnya tubuhnya telanjang bulat. Kuteruskan ciumanku di bagian liang senggamanya. "Akkhh.. terus John.. terus.." rintihnya keenakkan. Kujilati bibir kemaluannya bagian luar. Kujilati terus hingga semakin lama semakin basah. Basah ludah dan cairannya. Kemudian kubuka bibir kemaluannya dengan jariku. Setelah agak terbuka kumasukkan ujung lidahku ke sana dan mulai menjilat dan menusuk bergantian. "Hmm.. akkhh.." kadang-kadang pantatnya terangkat mengejar lidahku saat lidahku mengenai klitorisnya.
Setelah beberapa lama akhirnya lidahku kukonsentrasikan di klitorisnya. Gerakan pantatnya dan pinggulnya menjadi liar sekali. Untung pegangan tangan kursi keramas membuat gerakannya sangat terbatas, sehingga aku tidak perlu memegangi kuat-kuat. Ruang geraknya di kursi memang sempit. Makin lama rintihannya semakin panjang dan keras. Lidahku pun semakin kupercepat gerakannya, sambil sesekali tanganku meremas-remas dadanya yang besar itu. "Johnn.. akkhh.. akkhh.." sepertinya Vony mencapai puncaknya. Seperti yang kulakukan juga pada Vita, selama masa orgasmenya, lidahku kugerakkan pelan di sekitar bukit kemaluannya dan klitorisnya. Pelan dan lembut sekali, seakan takut kalau nanti habis.
Tahu-tahu kepalaku ditarik ke atas oleh Vony. Aku ikut saja, kunaikkan kepalaku dan kuciumi bibirnya lagi. "Sekarang giliran kamu", katanya. Aku cuma mengangguk tersenyum. Didorongnya tubuhku berdiri. Kemudian dia ikut berdiri dan mendorong tubuhku lagi untuk berbaring di kursi keramas. Kemudian tangannya mulai bergerak meremas batang kemaluanku dari luar celana dalamku. "Aakkhh, Von.. enak.." rintihku.
Kemudian dibukanya celanaku dan tersembullah batang kemaluanku. Tidak sampai 5 detik, masuk sudah penisku dalam mulutnya. "Aakkhh.." aku merintih panjang. Hisapannya benar-benar lebih nikmat dari Vita. Mungkin karena Vony sudah pengalaman. Tapi aku tidak ambil pusing. Yang jelas benar-benar nikmat. Batang kemaluanku dikocoknya keluar masuk mulutnya, kadang dijilat dan dihisap-hisap. Hawanya semakin panas saja kurasakan. Makin lama kocokannya semakin cepat dan hisapannya semakin kuat. "UUgghh.. aakkhh.. uugghh", rasa nikmat makin berkumpul di ujung kemaluanku dan akhirnya bobol juga dan keluarlah semua simpananku ke dalam mulut Vony. Vony bukannya berhenti malah menghisap makin kuat. "Ugghh.. bentar Von.. ngilu nih.." kataku protes. Dia mana mau tahu, dia tetap menghisap dan mengulum batang kemaluanku. Batang kemaluanku yang sempat kendor menjadi tegang kembali. Walaupun belum penuh, makin lama tegangnya makin penuh.
Tiba-tiba Vony naik dan mencoba duduk di atasku. Wah.. aku kaget juga dan segera ku-stop gerakannya.
"Tunggu dulu Von.." kataku mencegah dia.
"Kenapa..?" tanyanya.
"Aku nggak mau terlalu jauh melakukannya", kataku.
Aku merasa belum siap berhubungan sejauh ini. Aku benar-benar belum siap apalagi kalau harus menanggung resikonya nanti. Kalau sampai hamil terus kawin kan berabe. Mau aku kasih makan apa, aku saja masih kuliah walaupun aku kerja di web design, tapi cuma cukup buat uang jajan saja. Kulihat wajahnya kecewa, tapi dia berusaha tersenyum.
Kemudian dia berdiri dan membelakangiku. Aku berdiri dan menciumnya dari belakang. Ciumanku di lehernya membuatnya kembali mendesah dan melupakan kekecewaannya. Kubalikkan badannya dan kurebahkan lagi tubuhnya di kursi yang sama. Kuciumi mulutnya dan lehernya. Terus kuturunkan ciumanku ke dadanya dan kupermainkan puting susunya dengan lidahku. Sebagai pengobat kecewa, kumasukkan jari tengahku ke liang kenikmatannya. "Aaakhh.. Johnn.. terus ke dalam", rintihnya saat aku mendorong jariku. Kumasukkan seluruh jari tengahku ke dalam liang kenikmatannya. Setelah habis semua, kutarik pelan keluar. "Akkhh.. hmmpp.." rintihnya semakin keras. Jariku kupermainkan di dalam liang kenikmatannya. Keluar masuk keluar masuk dengan cepat. Sambil mulutku tetap menciumi dada dan menjilati serta menghisap putingnya. Rintihan dan erangan keluar bergantian.
Sampai akhirnya, "Aaakkhh.. Johhnn.. hmmpp", aku merasa jariku dijepit kuat sekali. Agak seret juga aku menariknya, makanya kubiarkan saja jariku dijepit di dalam liang kenikmatannya. Serasa ada otot-otot yang bergerak dan mengencang mengendur menjepit jari tengahku. Setelah jepitannya agak reda, aku menggerakkan pelan jariku keluar masuk lagi sambil menciumi bibirnya. Setelah itu aku berdiri dan pergi ke kamar mandi sambil membawa pakaianku. Kubersihkan badanku dari keringat dan beberapa tetesan spermaku di perutku. Setelah itu aku memakai kembali pakaianku dan keluar lagi menemui Vony. Kulihat Vony masih berbaring lemas. Kemudian setelah aku menunggu beberapa waktu, Vony bangkit sambil tersenyum terus memakai pakaiannya kembali. Tak sampai 10 menit kemudian, keluarganya balik ke rumah. Kulihat jam tanganku, sudah hampir 1,5 jam aku di sana.
Itu ceritaku dengan Vony. Akhir hubungan kami, aku memutuskan untuk mundur, selain aku belum bisa melupakan Vita hingga selalu membandingkan Vita dan Vony, alasan kedua, Vony itu suka keluar malam dan pergaulan malam menjadi pergaulannya yang mana aku sendiri tidak pernah dan tidak suka dengan pergaulan macam itu. Selain mengantuk kalau sudah malam, pusingnya itu lho kalau di diskotik. Akhirnya aku mundur perlahan dengan pasti. Ehh.. 2 bulan yang lalu aku dengar kabar dia sudah menikah. Selamat dan semoga berbahagia deh, kalau kamu sempat baca cerita ini.
TAMAT
No comments:
Post a Comment